Penulis : Sitti Masdaniah (Pengawas SD Kecamatan Dua Pitue, Sidrap)
Editor : Mustamin Tabah
Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional yang menyatukan berbagai suku bangsa di Indonesia, dihadapkan pada tantangan keberagaman bahasa daerah. Di satu sisi, keberagaman ini merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga membawa problematika tersendiri, salah satunya adalah pergeseran makna kata dalam bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa daerah. Contoh nyata dapat ditemukan pada penggunaan bahasa Bugis di Sulawesi Selatan.
Bahasa Bugis memiliki kosakata yang sering kali diadopsi secara langsung ke dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat lokal, bahkan saat menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya, kata mesa dalam bahasa Bugis berarti pindah, tetapi sering disalahartikan sebagai gesar. Dalam bahasa Indonesia, kata yang benar adalah geser atau bergeser. Kesalahan kecil seperti ini dapat menjadi besar ketika terus-menerus digunakan tanpa koreksi.
Selain kata mesa, fenomena serupa terjadi pada kata balik. Dalam bahasa Bugis, balik mengacu pada kembali ke tempat asal, tetapi sering digunakan untuk merujuk pada tindakan memutar suatu benda. Misalnya, "Balik kursinya ke depan" yang sebenarnya lebih tepat dikatakan "Putar kursinya ke depan". Fenomena ini menunjukkan adanya perbedaan konsep antara bahasa Bugis dan bahasa Indonesia yang dapat memengaruhi pemahaman makna.
Kata lain seperti jappa, yang berarti berjalan atau pergi dalam bahasa Bugis, sering disalahartikan sebagai jalan cepat atau berpindah secara tergesa-gesa. Kesalahan ini menggambarkan bagaimana penggunaan bahasa daerah dapat mengubah nuansa makna yang seharusnya. Dalam konteks bahasa Indonesia, cukup diucapkan "Pergi ke pasar", tetapi penggunaan jappa memberikan kesan kecepatan yang tidak relevan.
Interferensi bahasa adalah salah satu penyebab utama fenomena ini. Menurut teori yang dikemukakan oleh Weinreich (1953), interferensi terjadi ketika sistem bahasa pertama memengaruhi bahasa kedua, baik pada aspek fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik. Dalam kasus ini, interferensi semantik dari bahasa Bugis terhadap bahasa Indonesia sangat dominan. Hal ini sering ditemukan pada masyarakat bilingual atau multilingual di daerah-daerah seperti Sulawesi Selatan.
Dalam dunia pendidikan, dampak interferensi ini terasa nyata. Siswa sering kali mengalami kesalahan pemahaman makna ketika harus menggunakan bahasa Indonesia secara formal. Hal ini tidak hanya memengaruhi kemampuan berbahasa mereka, tetapi juga berdampak pada hasil pembelajaran. Sebagai contoh, kesalahan dalam penggunaan kata dapat membuat siswa kesulitan memahami soal ujian yang menggunakan bahasa Indonesia baku.
Upaya untuk mengatasi problematika ini dapat dilakukan melalui peningkatan literasi bahasa di sekolah. Guru memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman yang mendalam mengenai perbedaan makna kata antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah metode kontrastif, yaitu membandingkan struktur dan makna kata dalam kedua bahasa tersebut. Dengan pendekatan ini, siswa dapat lebih memahami bagaimana menggunakan bahasa Indonesia dengan benar tanpa kehilangan identitas budaya lokal mereka.
Selain itu, pengintegrasian budaya lokal ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia juga menjadi solusi yang efektif. Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar bahasa, tetapi juga memahami akar budaya mereka. Misalnya, penggunaan cerita rakyat Bugis dalam pelajaran bahasa Indonesia dapat menjadi media yang menarik untuk memperkenalkan konsep bahasa secara kontekstual.
Penggunaan teknologi juga dapat menjadi solusi modern dalam pembelajaran bahasa. Aplikasi interaktif yang menjelaskan perbedaan makna kata antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia dapat membantu siswa belajar dengan cara yang lebih menarik. Video edukasi atau permainan berbasis bahasa dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan sekaligus meningkatkan kemampuan berbahasa mereka.
Pergeseran makna akibat pengaruh bahasa daerah, seperti yang terjadi pada bahasa Bugis, adalah fenomena yang tidak dapat dihindari. Namun, dengan pendekatan yang tepat, problematika ini dapat diatasi tanpa harus mengorbankan nilai budaya lokal. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus terus ditingkatkan, tanpa melupakan akar budaya yang menjadi identitas bangsa.
Melalui upaya bersama, kita dapat menjaga keutuhan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sekaligus melestarikan keindahan bahasa daerah yang menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Dengan demikian, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga cerminan identitas bangsa yang menghargai keberagaman.(Adm)